"Saya menolak tua, mbak!"
Entah, malam ini kalimat pendek itu mengusik saya, ada sesuatu yang terasa tak asing lagi. Semacam ingatan di suatu perjalanan yang pernah saya lewati. Perjalanan yang jelas membuat saya tidak bisa tenang sebelum saya selesai menceritakan lagi semuanya.
Jum'at, 27 April 2018.
Pada hari itu, saya berencana untuk pulang ke Temanggung, Jawa Tengah--Tempat kelahiran saya sekaligus tempat pulang sepanjang hidup saya. Perjalanan saya dimulai dari Jombang yang harus berpanas-panasan di depan bengkel sebelah Indomart di Peterongan. Hari Jum'at yang notabene-nya melihat laki-laki berbondong-bondong untuk berangkat ke masjid, di jam itulah saya menunggu bus Eka patas yang biasanya menuju ke arah Magelang. Lama sekali, sampai pada akhirnya, saya ditemani ngobrol santai dengan bapak bentor yang juga membantu saya mencegat bus di tempat itu. Satu per satu bus dengan labelnya sendiri lewat di jalan raya di depan saya. Miris, sekaligus mengerikan. Di sana saya merasa melihat beberapa bus yang saling mendahului satu sama lain, istilahnya sama seperti melihat balapan bus antarkota di tengah hawa panas melanda. Sampai di satu kejadian, satu bus Eka jurusan Magelang terakhir, gagal berhenti di depan saya hanya gegara 2 bus yang sama sedang bermain kejar-kejaran di lajur kiri jalan. Sangat menyebalkan, bukan?
Setelah lebih dari setengah jam menunggu dari bus yang terakhir datang, pada akhirnya saya berhasil menghentikan satu bus Eka arah Semarang. Dengan sedikit berat hati, saya meyakinkan diri saya untuk naik bus jurusan ini untuk pertama kalinya. Satu-satunya yang terpikir saat itu adalah 'bagaimana saya sampai di rumah secepat mungkin?'. Sebenarnya, saya sedikit shock ketika naik ke bus ini, saya bebas memilih tempat duduk saya dimana pun saya mau karena kebetulan, bus ini hanya mengangkut beberapa penumpang kurang dari 5 orang. How lucky I am to get the fantastic bus! Lalu saya duduk di baris nomor 2, sebelah jendela, tempat kesukaan saya selama ini. Perjalanan pun dimulai....
Seperti biasa, rutinitas saya selama perjalanan hanyalah tidur. Niat saya sederhana, agar saya tak melulu menengok jam selama perjalanan berlangsung. Bus berhenti di Ngawi, lalu perjalanan berlanjut kembali. Di sore harinya, saya terbangun dan menyadari bahwa bus berhenti di Terminal Tirtonadi, Solo. Ada hal yang membuat saya terkejut lagi, di sana saya menjadi satu-satunya penumpang di bus arah Semarang itu. Sedikit gelisah, antara salah bus dan kemungkinan salah oper ketika bus berhenti cukup lama di sana. Sampai seorang kondektur menegur saya agar saya tetap bersantai karena bus memang sedang diistirahatkan sedikit lebih lama dari biasanya. Setelah bus dikembalikan ke lajur pemberangkatan, beberapa penumpang juga mulai naik. Di situlah ada seseorang yang menawarkan diri untuk duduk di sebelah saya. Seseorang tersebut merupakan ibu-ibu paruhbaya yang saya taksir berumur 30an.
Awalnya, kami hanya saling berdiam diri tanpa melalui satu percakapan pun, hanya sekilas bertukar senyum sebagai formalitas sapaan. Dan tetiba saja, ibu cantik di sebelah saya ini menawarkan saya kacang goreng dan jeruk bali yang sudah dikupas. Dari sinilah kami memulai percakapan. Beliau benar-benar seseorang yang sangat ramah, jauh dari ekspetasi saya yang saya kira beliau seseorang yang ketus. Awalnya, saya menolak tawaran beliau untuk mengambil makanan ringan yang beliau bawa--mengingat pesan orang tua untuk tidak menerima makanan dari sembarang orang. Beliau mengira saya sedang berpuasa.
Pembicaraan panjang kami dimulai ketika ada salah satu penumpang bus membayar dengan uang palsu hingga membuat kondektur bus naik darah. Ibu di sebelah saya tetiba berbisik, "Hal seperti itu sudah banyak sekarang mbak. Kita harus hati-hati. Ibu-ibu yang membawa uang palsu tadi kelihatan banget kalau lagi bohong, dilihat dari gelagatnya dan wajahnya yang sok polos." Aku hanya mengangguk sedikit, sembari ikut mengamati tingkah ibu-ibu penipu yang duduk di seberang kursi kami. Perlahan, pembicaraanku dan ibu di sebelahku semakin jauh.
Beliau banyak berbagi cerita denganku. Mulai dari beliau yang seorang nasrani dengan latar keluarga yang saling menghargai pendapat satu sama lain, meskipun dalam persoalan agama. Seperti kakaknya yang sekarang ini menjadi seorang muslim. Awalnya, membicarakan tentang agama sedikit membuatku risau. Takut kalau-kalau pembicaraanku menyinggung perasaannya ataupun salah kata. Dan beliau, dengan cerianya mengajakku berdiskusi tentang hal tersebut. Lambat laun, pembicaraan kami sampai ke kehidupan pribadi beliau. Beliau yang kukira berumur 30an tahun, ternyata telah berada di kepala 5, jauh dari dugaanku sebelumnya. Yang membuatku semakin tertarik dengan beliau adalah bagaimana ia mengasuh anak-anaknya. Beliau mengajarkan kedisiplinan sekaligus kebebasan berkembang bagi anak-anaknya. Jadi, dari yang aku tahu, kedua anak beliau tumbuh dengan prestasi sesuai bidang yang diinginkan anaknya. Beliau pun sangat dermawan. Seringkali mengajak orang lain berjalan-jalan. Seperti nasehat beliau, "Harta hanya titipan Tuhan, mbak! Kalau habis masih bisa dicari lagi. Kalau kebahagiaan jangan sampai menyesal mbak, waktu kelewat dan kita nggak menikmati hidup, itu hal yang sia-sia menurut saya."
Perbincangan kami membuat saya lupa dengan hawa mual yang sedari tadi bergejolak di perut saya, sedikit maklum, saya sejak kecil mabuk darat. Ibu di sebelah saya ini membawa saya bercerita di masa lalunya, bagaimana beliau bertemu seseorang yang sangat berharga, lalu kehilangannya. Pesona ibu ini tak memudar sama sekali, anggun dan penuh wibawa. Sempat ia bercerita, "Mungkin umur saya sudah tua. Tapi saya menolak tua, mbak. Jadi meskipun umur saya lanjut, saya masih bisa seperti anak muda di luar sana. Nikmati saja mbak," ujar beliau dengan senyum lebarnya. Adem banget,pikir saya.
Dan di pukul 7 malam, ibu di sebelah saya ini turun di rumahnya, di daerah Salatiga. Kami pun sempat bertukar nomor telepon, karena saya ingat betul bahwa ibu itu sempat mengajak saya jalan bersama di lain waktu. Untuk ibu di sebelah saya waktu itu, terima kasih telah mengajarkan saya hal baru. Semoga ibu sehat selalu.
Khoirunnisa_
Malang, 29 Januari 2019