*1-First
Day Outside, LOST!*
Kukira mendatangi
Inggris di bulan Desember adalah saat yang tepat, namun ternyata dugaanku
meleset. Aku mendatangi Inggris di cuaca yang salah. Desember, bulan dimana
butiran-butiran salju turun di sebagian besar daratan Eropa, termasuk Inggris.
Sejujurnya, aku ingin sekali merasakan dinginnya salju yang turun hampir setiap
hari di berbagai tempat, menikmati salju-salju terjatuh diantara dahan-dahan pohon dan menutupi jalan-jalan
yang ada. Namun, kini semua terasa mustahil. Dua hari di negeri Elizabeth ini
mampu membuatku demam tinggi dan berulang kali bersin karena virus influenza telah menempel di hidungku.
Aku benar-benar belum terbiasa dengan cuaca ini. Cuaca dingin ini mampu
mencapai 0⁰C. semua ini membuatku bergidik ngeri membayangkan
apakah aku masih bisa hidup dalam dua bulan ke depan? Cukup dua hari saja, aku
merasa ingin mati.
Namun, di sisi lain,
ada rasa takjub yang mengalihkan rasa kesalku selama di dalam apartemen. Aku
selalu duduk di dekat jendela dan melihat pemandangan di luar apartemen. Aku
tertegun melihat orang-orang yang berlalu lalang memakai berlapis-lapis mantel,
syal, sepatu boots, dan topi di lengkapi penutup telinga. Warna putih salju
memberikan kesan tak ternilai untukku. Begitu cantik, memukau, dan sangat
indah. Aku ingin melewati tumpukan salju itu dan aku ingin-dengan
sengaja-menghempaskan tubuhku di atas tumpukan salju yang menawan itu.
“Adel?” kak Daffa
membuyarkan lamunanku.
“I-iya kak, kenapa?”
aku tergagap.
“Cari makan yuk Del?
Sekalian jalan-jalan!” ajak kak Daffa.
“Tapi kak, aku nggak
ada mantel, sepatu boots, atau apalah buat keluar,” sesalku.
“sekarang kamu pakai
punya kakak dulu, tuh udah kakak siapin. Habis ini kita cari peralatan musim
dingin buat kamu, Del.” Tawarnya lembut.
“oke kak!” kataku
menyanggupi. Kak Daffa mengenakan sebuah mantel tebal berwarna hitam dipadukan
dengan syal berwarna putih. Sedangkan aku memakai mantel cokelat tua selutut
dengan syal cokelat muda yang menghangatkan leherku. Kak Daffa terkekeh melihat
mantelnya yang berukuran terlalu besar untukku. Aku cukup memakluminya karena
aku-mungkin-sejajar dengan dada bidangnya. Melihat tingginya yang kurang lebih
185 cm selalu membuatku berfikir kalau kak Daffa mempunyai hormon pertumbuhan
yang berlebih. Walaupun sebenarnya, tingginya termasuk ukuran rata-rata bagi para bule, aku selalu
berfikir kalau dia abnormal-setidaknya-untuk
kebanyakan orang Indonesia.
Setelah 2 hari
mengurung diri dalam ruangan penuh pemanas, akhirnya aku memberanikan diri
untuk menginjakkan kaki di luar apartemen. Rasa keingin-tahu-anku lebih besar
dibandingkan keraguanku untuk menginjak bulir-bulir lembut yang membalut London
saat ini. Hawa dingin yang menusukku kian terasa ketika aku menginjakkan kaki
di luar apartemen. Beberapa lapis mantel dan balutan sarung tangan tidak mampu
menyembunyikan hawa dingin ini. Wajahku yang diterpa angin terasa membeku. Aku
bisa mendengar suara gigi-gigiku bergemeretak karena dinginnya cuaca. Kak Daffa
yang melihatku sedang beradaptasi dengan cuaca dingin ini berulang kali
terkekeh tanpa henti. Aku yang berjalan beriringan dengannya hanya bisa
mendengus sebal.
Aku dan Kak Daffa
berhenti di sebuah halte bus, lalu kami menaiki bus merah bertingkat yang
sangat populer di negeri Elizabeth ini. Ini kali pertama aku menaikinya.
Untunglah, saat itu penumpang sedang sepi, jadi aku bisa bebas memilih tempat
duduk. Aku memilih duduk di kursi belakang dekat jendela. Kak Daffa duduk di
sebelahku. Aku melihat pemandangan di luar jendela. Bangunan-bangunan kuno yang
masih kokoh berjajar rapi di sepanjang jalan. Yang tak membuatku bosan sama
sekali ialah daerahnya yang begitu bersih. Sampah-sampah berceceran hampir tak
ditemukan. Saat mengamati suasana sekitar, tiba-tiba terlintas di benakku
kemanakah bus ini melaju.
“Kak, kita mau
kemana?” tanyaku pada kak Daffa yang sedang bersandar di kursi.
“Ben’s cookies”
jawabnya singkat.
“Where is that?” tanyaku kembali, masih tak mengerti.
“Let’s see then,” jawabnya penuh teka-teki sembari memejamkan mata.
Aku masih ingin bertanya, namun aku mengurungkan niatku untuk bertanya lagi.
Aku hanya harus bersabar menghadapinya.
Sepuluh menit
kemudian, bus berhenti di sebuah halte. Kak Daffa mengisyaratkan untuk turun.
Aku melihat papan jalan yang menunjukkan dimana aku berada. Kensington High Street. Aku sama sekali
tidak tahu dimana Kensington ini berada. Aku masih sangat asing dengan
daerah-daerah di sini. Langkah kak Daffa
yang panjang sulit kuimbangi. Sementara itu, aku melihat jalan-jalan di
sekelilingku sedang dibersihkan dari salju yang menumpuk dan menghalangi para
pejalan kaki.
Kak Daffa berhenti di
sebuah kedai modern. Plakat kedai itu sangat jelas bertuliskan Ben’s Cookies. Kedai ini berada di
daerah 12 Kensington Arcade, Kensington High street, London. Pernak-pernik
natal telah terpasang lengkap di dalam kedai. Suasana modern tersirat jelas
dari furniture yang dipakai. Pemanas
ruangan yang baik membuatku betah untuk berlama-lama di ruangan ini. Lantai parquet membuat kehangatan serta
kenyamanan bertambah. Sebelum kami duduk, kak Daffa telah memesan sesuatu
kepada waiters di bagian menu.
Kemudian kak Daffa mengajakku duduk di ujung ruangan di dekat jendela utama.
Kami duduk berhadapan,
masih saling terdiam. Ada rasa canggung yang membatasi kami berdua, entah
karena terlalu lama kami tak bertatap muka, atau yang lainnya, aku juga tidak
tahu. Yang jelas, kami masih sibuk dengan fikiran kami masing-masing.
“Adel?” ucap kak Daffa
sedikit menggantung. Aku sedikit tersentak kaget mendengarnya.
“What do you think about England?” Tanya kak Daffa dengan logat English yang kental. Seulas senyum tipis
tersungging di bibirnya. Aku hanya mengedikkan bahuku sambil memikirkan jawaban
untuk pertanyaan kak Daffa ini.
“I regret, but I am satisfied.” Jawabku sekenanya. Kak Daffa
mengangkat alisnya seakan mencari jawaban lain. Sebelum ia sempat bertanya lagi,
buru-buru aku menyelanya, “Don’t ask me
why? Aku juga nggak tahu kenapa kak, masih asing sama England. Aku juga belum bisa beradaptasi sepenuhnya sama cuaca ini,
tapi yang bikin aku puas itu di sisi lingkungannya, clean, arsitektur kunonya juga sangat-sangat menggoda. And honestly, this is my first winter!”
Kak Daffa yang
mendengarku mengoceh panjang lebar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari
tertawa. “Just enjoy your day before
winter changed into spring!” sarannya padaku. Aku hanya memutar-mutar bola
mataku dan memanyunkan bibirku, lalu samar-samar aku mengangguk.
Tiba-tiba aku
menyadari bahwa perutku telah mendendangkan irama sumbang yang cukup keras. Kak
Daffa yang memperhatikanku sepertinya menyadari hal memalukan ini. Ia mengatupkan
bibirnya, mencoba menahan tawa yang sepertinya meledak-ledak bila ia tak
menahannya. Melihat reaksinya, wajahku serasa memanas menahan malu. Itu suara alam bawah sadar, mana bisa nahan?
Erangku dalam hati.
“Be patient, Del!” seloroh Kak Daffa dengan ringan diiringi tawanya
yang masih tertahan. Aku hanya mengangguk lesu sambil memainkan jari-jari
tanganku.
Sepuluh menit
kemudian, seorang pelayan cantik mengenakan setelan seragam berwarna merah
membawa nampan berisi 2 cake cokelat dan 2 cangkir cokelat panas. Aroma cokelat
yang khas dapat tercium dengan sempurna ketika 2 menu itu sampai di hadapanku.
Kepulan uap cokelat panas itu terlihat semakin menggoda saat aku mencuri
pandang ke arah cokelat panasku. Aku semakin tak sabar untuk meneguknya.
Setelah waiters itu selesai menghidangkan
pesanan kami, pelayan itu tersenyum lalu pergi meninggalkan mejaku. Sejenak aku
menatap kak Daffa, sembari mencari isyarat untuk mulai mengisi perut yang
kurasa akan berbunyi semakin keras apabila kami semakin lama menunda untuk
memulainya.
“Silahkan nona putri
yang cantik!” ujarnya mempersilahkan sembari mengerlingkan sebelah matanya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, aku langsung menyambar cokelat panasku dan
buru-buru meneguknya. Tapi,……
“AWWW!!” teriakku
spontan.
“Kenapa Del?” kak
Daffa buru-buru menatapku. “Panas banget kak, eh..” keluhku menyadari
kebodohanku. Kak Daffa hanya menggeleng melihat kelakuanku yang super aneh. Sabar ya kak, Adel emang ceroboh!
Aku mencoba untuk
memperbaiki hari awalku ini, aku menyendok sedikit cake cokelat di depanku.
Cake cokelat ini begitu lembut saat aku mencoba mengambilnya. Belum selesai
sampai di situ, aku merasa surprised saat
lelehan cokelat kental muncul dari dalam cake cokelat ini. Aku terkesima.
“Jangan bengong dong
Del! Cobain deh!” kak Daffa mengagetkanku sambil menjulurkan sendoknya yang
berisi cake cokelat ke mulutku. Sebetulnya, aku sedikit canggung, tapi aku
memantapkan hati untuk menerima suapan kecil darinya.
Kak Daffa mencoba
memastikan, “How its feel on your tongue?”.
Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak mataku, mengunyah sesaat, lau menelan cokelat
lembut itu, “Great kak, this is the best
taste that I’ve ever felt! So delicious!”
“Are you serious?” kak Daffa mencoba memastikan kembali. Aku
mengangguk yakin. Kak Daffa terlihat sumringah ketika aku meyakinkannya. Ah! Senyum manis kak Daffa tak pernah
berubah, selalu membuat jantungku berdetak lebih keras.
“Ini tuh muffin Del,” ucapnya singkat,
membuyarkan lamunanku. Mendengar ucapannya barusan, aku mengernyitkan dahi,
mencoba mengingat sesuatu. Muffin? Seolah
tak asing lagi. Aku mencoba memutar otakku yang sempit ini. Muffin..muffin..muffin.. ah! Aku ingat!
“Bukannya muffin itu
cake tradisional yang bentuknya gulungan, bundar, terus tipis ya kak? Kalau
nggak salah bukannya cara makan muffin itu disobek dulu terus di kasih selai,
baru dimakan?” cerocosku tanpa henti. Kak Daffa tersenyum lebar,”Bener banget
Del, tapi kalo yang kita makan sekarang ini tuh Double chocolate cookie. Istilahnya muffin yang udah dimodifikasi
gitu Del!”
“Oh, gitu… tapi
beneran deh kak, enak banget muffinnya!”
“Jelas dong, my choice is the best choice!”
sombongnya sembari menjulurkan lidah.
“Uurgh, too confident!” kilahku.
“Biarin, weekkk,”
belanya sambil menjulurkan lidahnya lagi. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya
yang menggelikan, kak Daffa masih seperti
anak kecil terkadang.
Pagi ini, kehangatan
dari tawa dan canda seseorang di depanku. Tawa renyah itu, lesung pipit itu,
suara ceria itu, hmm.. terlalu lama aku merindukannya, mungkin. Dan pagi ini,
adalah permulaan yang indah bersama kak Daffa. Sebisa mungkin aku mengingat
saat-saat ini, saat dimana ia tertawa lebar, tawa yang tak akan pernah
kumiliki.
Setelah sarapan usai,
kami berencana untuk berburu peralatan dan segala pernak pernik yang terkait
musim dingin. Ya, setidaknya sebagai refreshing
sebelum aku memasuki sekolah baru dimana kesibukan akan menjadi rutinitas
utama. Ehm, anggap juga ini adalah
berkah atas keteledoranku meninggalkan seluruh perlengkapan musim dinginku di
Indonesia. Sia-sia saja jika aku beribu kali menyesal, toh aku terlanjur sampai
di London. Huft!
Sebenarnya, ketika aku
dan kak Daffa berjalan beriringan, aku berharap dalam hati agar kami melangkah
menuju Bond Street. Aku sangat
berharap ke tempat itu karena rasa penasaran tentunya. Ya, bagaimana tidak
penasaran? Tempat itu adalah pusat pertokoan paling mewah dan bergengsi di
Inggris. Karena apa? Di sanalah tempat favorit para keluarga kerajaan Inggris
dan kerajaan lainnya. Waw, hanya sekedar membayangkan diriku berbelanja di sana
membuatku serasa melayang tinggi, bisa bertemu pangeran-pangeran Eropa,
mengenakan dresses yang dibeli di
butik Royyal Warrant-butik yang telah
diberi sertifikat karena menjadi supplier
istana dan keluarga kerajaan
Inggris. Nikmatnya…
TAK!!!
“Auw!!” aku berjengit
kaget ketika seseorang menjitak kepalaku tanpa permisi dan menyadarkan aku dari
khayalan seruku.
“Mikirin apa Del? Dari
tadi senyum-senyum sendiri!” ledek kak Daffa. Aku berusaha mengelak dan mencari
bahan pembicaraan lain, “eh..oh.. nggak mikirin apa-apa kok kak! Oiya, kita
jadinya kemana nih? Mau ke Oxford street,
Portobello market, or Picadilly circus?”
“Ehm, maybe the best beginning is Oxford street.” Timbangnya
ragu-ragu namun penuh keyakinan. “Okay, I
agree, sir!” ujarku girang.
Setelah menaiki bus
lagi, sejurus kemudian kami turun. Yak, akhirnya sampai juga. Lalu lalang orang
yang menenteng berbagai barang belanjaan membuatku-sekali lagi-terkesimal, terlebih
lagi yang kulihat saat ini bukan orang-orang Indonesia dengan kulit sawo matang
yang khas, melainkan ratusan-bahkan-ribuan bule berlalu lalang membawa banyak
tas belanjaan yang-tak jarang-bertuliskan brand-brand terkenal.
Masih merasa takjub,
kak Daffa tiba-tiba menggandeng tanganku dan masuk ke dalam keramaian ini. Aku
masih terlihat canggung berjalan di antara bule-bule yang perawakannya, yah,
bisa dibilang berbanding jauh denganku. Rasanya seperti terkucilkan.
Aku hanya mengikuti
kemana langkah kak Daffa, sambil mengamati
ornamen-ornamen natal yang dipajang di sepanjang kanan kiri jalan yang
dipenuhi kios beraneka ragam, mulai dari toko pakaian, mainan anak-anak, toko
makanan, hingga souvenir khas London sepertinya bisa didapat di sini. Setahuku,
Oxford street sejajar dengan Orchard Road Street dan Champ Ellyse Paris.
At least, Kaku pernah mengunjungi Orchard
Road Singapore dan kali ini-mungkin-aku akan terbiasa mengunjungi Oxford
street.
Aku dan Kak Daffa
mencoba menelusuri satu per satu toko yang ada di Oxford street. Di sela-sela
pencarianku, terkadang tanpa sengaja aku mencium aroma cokelat panas yang masih
mengepul atau sesekali aroma panggangan Lancashire
Hotpot yang dijual di kedai-kedai sekitar. Hmm, lezatnya aroma-aroma ini.
Saat hidungku bertemu
aroma-aroma itu, tanpa sadar aku melangkahkan kakiku ke sebuah toko cokelat.
Kehangatan menelusup ke dalam tubuhku ketika aku mulai menginjakkan kakiku ke
dalam toko cokelat ini. Aroma cokelat menguar seketika saat aku melihat beragam cokelat yang dipajang di
etalase kaca bagian dalam yang panjang. Aku menebarkan pandanganku ke seluruh
penjuru ruangan. Ada berbagai macam ornament natal yang menghiasi
dinding-dinding ruangan. Temaram lampu oranye yang dipajang membuat kesan mewah
yang jelas menciptakan pantulan menggoda dari cokelat-cokelat mewah yang
dipajang.
Aku sibuk memilih
cokelat untuk kubeli. Beberapa jenis cokelat terkenal juga tersedia di sini,
seperti Lindt and spugli chocolate asal
Swiss, Ghirardelli asal Amerika yang
terkenal karena kualitas cokelatnya, dan juga Ferrero rocher yang berbentuk bulat dengan dibungkus kertas emas
hasil produksi Chocolate Ferraro Rocher. Aku memilih beberapa cokelat Ferraro Rocher dengan rasa pistachio,
strawberry, kelapa dan lemon. Ya, harap dimaklumi, aku salah seorang penggila
chocolate. Biasanya, ketika aku memiliki problema hidup, satu-satunya
pelarianku hanya pada batangan cokelat manis yang akan meleleh ketika masuk ke
dalam mulutku. Rasa manisnya akan menghilangkan seluruh tekanan yang begitu
menyesakkan otakku. Yah, begitulah dia bereaksi dalam hidupku. Sebuah cokelat.
Setelah memilih varian
cokelat Ferrero Rocher, aku beralih
ke Lindt and spugli chocolate yang
memiliki rasa populer yang unik, yaitu rasa hot
papaya yang pedas. Tak lupa, aku mengurutkan satu per satu cokelat yang
ingin kuberikan ke Kak Daffa dan-mungkin-memintanya menyimpan sedikit di freezer. Kak
Daffa? Oh my God, kemana dia? Bukan,
bukan, lebih tepatnya dimana aku? Kenapa aku sebodoh ini? Aku baru saja
menyadari jika aku tanpa sadar pergi darinya. Adel, why you are too stupid? Bodoh, bodoh, bodoh! Mungkin mudah
saja untuk Kak Daffa kembali ke rumah karena ia tahu seluk beluk kota ini.
Sedangkan aku? Alamat rumah Kak Daffa saja aku tak hafal. Oh God!! Yang terpikir saat ini hanyalah menghubungi ponsel Kak
Daffa. Tanpa pikir panjang aku segera meraba kantong sakuku untuk mengambil
ponselku. Err, tunggu sebentar disana! Kacau, aku meninggalkan ponselku di
apartement pagi tadi. Rasanya baru tadi aku bahagia, kini sekejap mata langsung
habis tak tersisa. Lebih parahnya, aku sama sekali tak mengantongi uang
sepeserpun. Bagaimana aku kembali? God, aku
tak ingin menjadi gelandangan yang terlantar di negeri Elizabeth ini. Aku ingin
ke telepon umum, tapi jika 1 sen saja aku tak mengantongi, bagaimana nantinya?
Oh
God,
Kak
Daffa, please! Find me here! I’m afraid…..
TO BE CONTINUED
joossssssss riz tingkatkan
BalasHapuswkwkwk... thank you ta :v
BalasHapus