Selasa, 27 Desember 2016

SLEEPING BUDDHA ON VACATION : TROWULAN'S TRIP



Sleeping Buddha on Vacation
            Are you a traveller, guys? If you like travelling to some places, I think you have to try Trowulan first. Trowulan is located in East Java, Indonesia. You could find so many historic places here. Beside that, you also could find religion places that could be visited. One of the religion places is Buddha tidur or sleeping Buddha in Trowulan, Mojokerto, East Java, Indonesia. This is the biggest sleeping buddha in Indonesia. I just visited there once, but I suggest you to come there because this is a nice place to be visited. Here, I’ll tell you about my experience when I went to “Buddha Tidur Maha Vihara Mojopahit”. 
           Last week, I went to Sleeping Buddha in Trowulan, Mojokerto, East Java, Indonesia. I went there with my classmates and my lecturers. We used our bus university to went there. As a treasurer, I organized all of payment like tickets and park. We park a bus, and its park was Rp 10.000,00. As long as I knew, price of the ticket was Rp 3.000,00 per person. Fortunately, we got discount for the tickets because there were 4 of my friends who had visited there the day before. After all the payment had fixed, we entered the place.


            A big joglo’s house with many statues was the first building that I saw. Joglo is Javanese house. My group and I just passed that building then we went to the statue directly. At first, I imagined that sleeping Buddha is a statue that had broken or something like that. But, all my imagination was wrong when I was in front of the statue. Its pose of the statue was a big real sleeping Buddha. I just knew that it is the third biggest sleeping Buddha in Asia. Its long 22 meters, 6 meters for its wide, and its high is 4,5 meters. Its colour is gold. There is a pond around the statue, it has so many fishes. 
            After we had saw the statue for a few minutes, we looked a place that could be used to gather. We found a small house and we prepared everything in front of that small house. Actually, the small house is “Rumah Abu” or house of dust. It is used to put dust of someone who had died. I knew it because there was an old women told me about it. She said that it was doesn’t matter if we used this place so long as we had permission from officer.
            Then, we started our agenda. There were some students that performed their skills. There were Bang Zen that read a poem with 3 languanges, Laili and Fay with their drama, and Mas Dhika with his voice. I forgot something, before they gave their performance, there were my lecturers that gave the speech. I was happy when I was seeing them, because they made me inspirated.
            After the formal section had ended, we ate our foods that had we brought. Then, we were given a chance to take a walk around the park. We had to looked around the area of Sleeping Buddha. There were a beauty park, a relief, and places to pray. I thought, this place was a crowded place because there were many people who visit this place. It means, this place is interesting.



            The time was running out. My friends and I had to given our experience. After all was over, we came back. In the bus, we made a unique moments. We tried mannequin challenge. All of us posed like a mannequin, including my lecturers and the bus driver. It was a funny moment. Finally, we really came back to our university.
           

Selasa, 22 November 2016

NOVEL (DAFFA AND DELLA)



*1-First Day Outside, LOST!*

Kukira mendatangi Inggris di bulan Desember adalah saat yang tepat, namun ternyata dugaanku meleset. Aku mendatangi Inggris di cuaca yang salah. Desember, bulan dimana butiran-butiran salju turun di sebagian besar daratan Eropa, termasuk Inggris. Sejujurnya, aku ingin sekali merasakan dinginnya salju yang turun hampir setiap hari di berbagai tempat, menikmati salju-salju terjatuh diantara  dahan-dahan pohon dan menutupi jalan-jalan yang ada. Namun, kini semua terasa mustahil. Dua hari di negeri Elizabeth ini mampu membuatku demam tinggi dan berulang kali bersin karena virus influenza telah menempel di hidungku. Aku benar-benar belum terbiasa dengan cuaca ini. Cuaca dingin ini mampu mencapai 0C. semua ini membuatku bergidik ngeri membayangkan apakah aku masih bisa hidup dalam dua bulan ke depan? Cukup dua hari saja, aku merasa ingin mati.
Namun, di sisi lain, ada rasa takjub yang mengalihkan rasa kesalku selama di dalam apartemen. Aku selalu duduk di dekat jendela dan melihat pemandangan di luar apartemen. Aku tertegun melihat orang-orang yang berlalu lalang memakai berlapis-lapis mantel, syal, sepatu boots, dan topi di lengkapi penutup telinga. Warna putih salju memberikan kesan tak ternilai untukku. Begitu cantik, memukau, dan sangat indah. Aku ingin melewati tumpukan salju itu dan aku ingin-dengan sengaja-menghempaskan tubuhku di atas tumpukan salju yang menawan itu.
“Adel?” kak Daffa membuyarkan lamunanku.
“I-iya kak, kenapa?” aku tergagap.
“Cari makan yuk Del? Sekalian jalan-jalan!” ajak kak Daffa.
“Tapi kak, aku nggak ada mantel, sepatu boots, atau apalah buat keluar,” sesalku.
“sekarang kamu pakai punya kakak dulu, tuh udah kakak siapin. Habis ini kita cari peralatan musim dingin buat kamu, Del.” Tawarnya lembut.
“oke kak!” kataku menyanggupi. Kak Daffa mengenakan sebuah mantel tebal berwarna hitam dipadukan dengan syal berwarna putih. Sedangkan aku memakai mantel cokelat tua selutut dengan syal cokelat muda yang menghangatkan leherku. Kak Daffa terkekeh melihat mantelnya yang berukuran terlalu besar untukku. Aku cukup memakluminya karena aku-mungkin-sejajar dengan dada bidangnya. Melihat tingginya yang kurang lebih 185 cm selalu membuatku berfikir kalau kak Daffa mempunyai hormon pertumbuhan yang berlebih. Walaupun sebenarnya, tingginya termasuk  ukuran rata-rata bagi para bule, aku selalu berfikir kalau dia abnormal-setidaknya-untuk kebanyakan orang Indonesia.
Setelah 2 hari mengurung diri dalam ruangan penuh pemanas, akhirnya aku memberanikan diri untuk menginjakkan kaki di luar apartemen. Rasa keingin-tahu-anku lebih besar dibandingkan keraguanku untuk menginjak bulir-bulir lembut yang membalut London saat ini. Hawa dingin yang menusukku kian terasa ketika aku menginjakkan kaki di luar apartemen. Beberapa lapis mantel dan balutan sarung tangan tidak mampu menyembunyikan hawa dingin ini. Wajahku yang diterpa angin terasa membeku. Aku bisa mendengar suara gigi-gigiku bergemeretak karena dinginnya cuaca. Kak Daffa yang melihatku sedang beradaptasi dengan cuaca dingin ini berulang kali terkekeh tanpa henti. Aku yang berjalan beriringan dengannya hanya bisa mendengus sebal.
Aku dan Kak Daffa berhenti di sebuah halte bus, lalu kami menaiki bus merah bertingkat yang sangat populer di negeri Elizabeth ini. Ini kali pertama aku menaikinya. Untunglah, saat itu penumpang sedang sepi, jadi aku bisa bebas memilih tempat duduk. Aku memilih duduk di kursi belakang dekat jendela. Kak Daffa duduk di sebelahku. Aku melihat pemandangan di luar jendela. Bangunan-bangunan kuno yang masih kokoh berjajar rapi di sepanjang jalan. Yang tak membuatku bosan sama sekali ialah daerahnya yang begitu bersih. Sampah-sampah berceceran hampir tak ditemukan. Saat mengamati suasana sekitar, tiba-tiba terlintas di benakku kemanakah bus ini melaju.
“Kak, kita mau kemana?” tanyaku pada kak Daffa yang sedang bersandar di kursi.
“Ben’s cookies” jawabnya singkat.
Where is that?” tanyaku kembali, masih tak mengerti.
Let’s see then,” jawabnya penuh teka-teki sembari memejamkan mata. Aku masih ingin bertanya, namun aku mengurungkan niatku untuk bertanya lagi. Aku hanya harus bersabar menghadapinya.
Sepuluh menit kemudian, bus berhenti di sebuah halte. Kak Daffa mengisyaratkan untuk turun. Aku melihat papan jalan yang menunjukkan dimana aku berada. Kensington High Street. Aku sama sekali tidak tahu dimana Kensington ini berada. Aku masih sangat asing dengan daerah-daerah di sini.  Langkah kak Daffa yang panjang sulit kuimbangi. Sementara itu, aku melihat jalan-jalan di sekelilingku sedang dibersihkan dari salju yang menumpuk dan menghalangi para pejalan kaki.
Kak Daffa berhenti di sebuah kedai modern. Plakat kedai itu sangat jelas bertuliskan Ben’s Cookies. Kedai ini berada di daerah 12 Kensington Arcade, Kensington High street, London. Pernak-pernik natal telah terpasang lengkap di dalam kedai. Suasana modern tersirat jelas dari furniture yang dipakai. Pemanas ruangan yang baik membuatku betah untuk berlama-lama di ruangan ini. Lantai parquet membuat kehangatan serta kenyamanan bertambah. Sebelum kami duduk, kak Daffa telah memesan sesuatu kepada waiters di bagian menu. Kemudian kak Daffa mengajakku duduk di ujung ruangan di dekat jendela utama.
Kami duduk berhadapan, masih saling terdiam. Ada rasa canggung yang membatasi kami berdua, entah karena terlalu lama kami tak bertatap muka, atau yang lainnya, aku juga tidak tahu. Yang jelas, kami masih sibuk dengan fikiran kami masing-masing.
“Adel?” ucap kak Daffa sedikit menggantung. Aku sedikit tersentak kaget mendengarnya.
What do you think about England?” Tanya kak Daffa dengan logat English yang kental. Seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Aku hanya mengedikkan bahuku sambil memikirkan jawaban untuk pertanyaan kak Daffa ini.
I regret, but I am satisfied.” Jawabku sekenanya. Kak Daffa mengangkat alisnya seakan mencari jawaban lain. Sebelum ia sempat bertanya lagi, buru-buru aku menyelanya, “Don’t ask me why? Aku juga nggak tahu kenapa kak, masih asing sama England. Aku juga belum bisa beradaptasi sepenuhnya sama cuaca ini, tapi yang bikin aku puas itu di sisi lingkungannya, clean, arsitektur kunonya juga sangat-sangat menggoda. And honestly, this is my first winter!
Kak Daffa yang mendengarku mengoceh panjang lebar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tertawa. “Just enjoy your day before winter changed into spring!” sarannya padaku. Aku hanya memutar-mutar bola mataku dan memanyunkan bibirku, lalu samar-samar aku mengangguk.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa perutku telah mendendangkan irama sumbang yang cukup keras. Kak Daffa yang memperhatikanku sepertinya menyadari hal memalukan ini. Ia mengatupkan bibirnya, mencoba menahan tawa yang sepertinya meledak-ledak bila ia tak menahannya. Melihat reaksinya, wajahku serasa memanas menahan malu. Itu suara alam bawah sadar, mana bisa nahan? Erangku dalam hati.
Be patient, Del!” seloroh Kak Daffa dengan ringan diiringi tawanya yang masih tertahan. Aku hanya mengangguk lesu sambil memainkan jari-jari tanganku.
Sepuluh menit kemudian, seorang pelayan cantik mengenakan setelan seragam berwarna merah membawa nampan berisi 2 cake cokelat dan 2 cangkir cokelat panas. Aroma cokelat yang khas dapat tercium dengan sempurna ketika 2 menu itu sampai di hadapanku. Kepulan uap cokelat panas itu terlihat semakin menggoda saat aku mencuri pandang ke arah cokelat panasku. Aku semakin tak sabar untuk meneguknya. Setelah waiters itu selesai menghidangkan pesanan kami, pelayan itu tersenyum lalu pergi meninggalkan mejaku. Sejenak aku menatap kak Daffa, sembari mencari isyarat untuk mulai mengisi perut yang kurasa akan berbunyi semakin keras apabila kami semakin lama menunda untuk memulainya.
“Silahkan nona putri yang cantik!” ujarnya mempersilahkan sembari mengerlingkan sebelah matanya. Tanpa menunggu perintah dua kali, aku langsung menyambar cokelat panasku dan buru-buru meneguknya. Tapi,……
“AWWW!!” teriakku spontan.
“Kenapa Del?” kak Daffa buru-buru menatapku. “Panas banget kak, eh..” keluhku menyadari kebodohanku. Kak Daffa hanya menggeleng melihat kelakuanku yang super aneh. Sabar ya kak, Adel emang ceroboh!
Aku mencoba untuk memperbaiki hari awalku ini, aku menyendok sedikit cake cokelat di depanku. Cake cokelat ini begitu lembut saat aku mencoba mengambilnya. Belum selesai sampai di situ, aku merasa surprised saat lelehan cokelat kental muncul dari dalam cake cokelat ini. Aku terkesima.
“Jangan bengong dong Del! Cobain deh!” kak Daffa mengagetkanku sambil menjulurkan sendoknya yang berisi cake cokelat ke mulutku. Sebetulnya, aku sedikit canggung, tapi aku memantapkan hati untuk menerima suapan kecil darinya.
Kak Daffa mencoba memastikan, “How its feel on your tongue?”. Aku mengerjap-ngerjapkan kelopak mataku, mengunyah sesaat, lau menelan cokelat lembut itu, “Great kak, this is the best taste that I’ve ever felt! So delicious!”
Are you serious?” kak Daffa mencoba memastikan kembali. Aku mengangguk yakin. Kak Daffa terlihat sumringah ketika aku meyakinkannya. Ah! Senyum manis kak Daffa tak pernah berubah, selalu membuat jantungku berdetak lebih keras.
“Ini tuh muffin Del,” ucapnya singkat, membuyarkan lamunanku. Mendengar ucapannya barusan, aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat sesuatu. Muffin? Seolah tak asing lagi. Aku mencoba memutar otakku yang sempit ini. Muffin..muffin..muffin.. ah! Aku ingat!
“Bukannya muffin itu cake tradisional yang bentuknya gulungan, bundar, terus tipis ya kak? Kalau nggak salah bukannya cara makan muffin itu disobek dulu terus di kasih selai, baru dimakan?” cerocosku tanpa henti. Kak Daffa tersenyum lebar,”Bener banget Del, tapi kalo yang kita makan sekarang ini tuh Double chocolate cookie. Istilahnya muffin yang udah dimodifikasi gitu Del!”
“Oh, gitu… tapi beneran deh kak, enak banget muffinnya!”
“Jelas dong, my choice is the best choice!” sombongnya sembari menjulurkan lidah.
“Uurgh, too confident!” kilahku.
“Biarin, weekkk,” belanya sambil menjulurkan lidahnya lagi. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang menggelikan, kak Daffa masih seperti anak kecil terkadang.
Pagi ini, kehangatan dari tawa dan canda seseorang di depanku. Tawa renyah itu, lesung pipit itu, suara ceria itu, hmm.. terlalu lama aku merindukannya, mungkin. Dan pagi ini, adalah permulaan yang indah bersama kak Daffa. Sebisa mungkin aku mengingat saat-saat ini, saat dimana ia tertawa lebar, tawa yang tak akan pernah kumiliki.
Setelah sarapan usai, kami berencana untuk berburu peralatan dan segala pernak pernik yang terkait musim dingin. Ya, setidaknya sebagai refreshing sebelum aku memasuki sekolah baru dimana kesibukan akan menjadi rutinitas utama. Ehm, anggap juga ini adalah berkah atas keteledoranku meninggalkan seluruh perlengkapan musim dinginku di Indonesia. Sia-sia saja jika aku beribu kali menyesal, toh aku terlanjur sampai di London. Huft!
Sebenarnya, ketika aku dan kak Daffa berjalan beriringan, aku berharap dalam hati agar kami melangkah menuju Bond Street. Aku sangat berharap ke tempat itu karena rasa penasaran tentunya. Ya, bagaimana tidak penasaran? Tempat itu adalah pusat pertokoan paling mewah dan bergengsi di Inggris. Karena apa? Di sanalah tempat favorit para keluarga kerajaan Inggris dan kerajaan lainnya. Waw, hanya sekedar membayangkan diriku berbelanja di sana membuatku serasa melayang tinggi, bisa bertemu pangeran-pangeran Eropa, mengenakan dresses yang dibeli di butik Royyal Warrant-butik yang telah diberi sertifikat karena menjadi supplier istana  dan keluarga kerajaan Inggris. Nikmatnya…
TAK!!!
“Auw!!” aku berjengit kaget ketika seseorang menjitak kepalaku tanpa permisi dan menyadarkan aku dari khayalan seruku.
“Mikirin apa Del? Dari tadi senyum-senyum sendiri!” ledek kak Daffa. Aku berusaha mengelak dan mencari bahan pembicaraan lain, “eh..oh.. nggak mikirin apa-apa kok kak! Oiya, kita jadinya kemana nih? Mau ke Oxford street, Portobello market, or Picadilly circus?
Ehm, maybe the best beginning is Oxford street.” Timbangnya ragu-ragu namun penuh keyakinan. “Okay, I agree, sir!” ujarku girang.
Setelah menaiki bus lagi, sejurus kemudian kami turun. Yak, akhirnya sampai juga. Lalu lalang orang yang menenteng berbagai barang belanjaan membuatku-sekali lagi-terkesimal, terlebih lagi yang kulihat saat ini bukan orang-orang Indonesia dengan kulit sawo matang yang khas, melainkan ratusan-bahkan-ribuan bule berlalu lalang membawa banyak tas belanjaan yang-tak jarang-bertuliskan brand-brand terkenal.
Masih merasa takjub, kak Daffa tiba-tiba menggandeng tanganku dan masuk ke dalam keramaian ini. Aku masih terlihat canggung berjalan di antara bule-bule yang perawakannya, yah, bisa dibilang berbanding jauh denganku. Rasanya seperti terkucilkan.
Aku hanya mengikuti kemana langkah kak Daffa, sambil mengamati  ornamen-ornamen natal yang dipajang di sepanjang kanan kiri jalan yang dipenuhi kios beraneka ragam, mulai dari toko pakaian, mainan anak-anak, toko makanan, hingga souvenir khas London sepertinya bisa didapat di sini. Setahuku, Oxford street sejajar dengan  Orchard Road Street dan Champ Ellyse Paris. At least, Kaku pernah mengunjungi Orchard Road Singapore dan kali ini-mungkin-aku akan terbiasa mengunjungi Oxford street.
Aku dan Kak Daffa mencoba menelusuri satu per satu toko yang ada di Oxford street. Di sela-sela pencarianku, terkadang tanpa sengaja aku mencium aroma cokelat panas yang masih mengepul atau sesekali aroma panggangan Lancashire Hotpot yang dijual di kedai-kedai sekitar. Hmm, lezatnya aroma-aroma ini.
Saat hidungku bertemu aroma-aroma itu, tanpa sadar aku melangkahkan kakiku ke sebuah toko cokelat. Kehangatan menelusup ke dalam tubuhku ketika aku mulai menginjakkan kakiku ke dalam toko cokelat ini. Aroma cokelat menguar seketika saat  aku melihat beragam cokelat yang dipajang di etalase kaca bagian dalam yang panjang. Aku menebarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan. Ada berbagai macam ornament natal yang menghiasi dinding-dinding ruangan. Temaram lampu oranye yang dipajang membuat kesan mewah yang jelas menciptakan pantulan menggoda dari cokelat-cokelat mewah yang dipajang.
Aku sibuk memilih cokelat untuk kubeli. Beberapa jenis cokelat terkenal juga tersedia di sini, seperti Lindt and spugli chocolate asal Swiss, Ghirardelli asal Amerika yang terkenal karena kualitas cokelatnya, dan juga Ferrero rocher yang berbentuk bulat dengan dibungkus kertas emas hasil produksi  Chocolate Ferraro Rocher. Aku memilih beberapa cokelat Ferraro Rocher dengan rasa pistachio, strawberry, kelapa dan lemon. Ya, harap dimaklumi, aku salah seorang penggila chocolate. Biasanya, ketika aku memiliki problema hidup, satu-satunya pelarianku hanya pada batangan cokelat manis yang akan meleleh ketika masuk ke dalam mulutku. Rasa manisnya akan menghilangkan seluruh tekanan yang begitu menyesakkan otakku. Yah, begitulah dia bereaksi dalam hidupku. Sebuah cokelat.
Setelah memilih varian cokelat Ferrero Rocher, aku beralih ke Lindt and spugli chocolate yang memiliki rasa populer yang unik, yaitu rasa hot papaya yang pedas. Tak lupa, aku mengurutkan satu per satu cokelat yang ingin kuberikan ke Kak Daffa dan-mungkin-memintanya menyimpan sedikit di freezer.  Kak Daffa? Oh my God, kemana dia? Bukan, bukan, lebih tepatnya dimana aku? Kenapa aku sebodoh ini? Aku baru saja menyadari jika aku tanpa sadar pergi darinya. Adel, why you are too stupid? Bodoh, bodoh, bodoh! Mungkin mudah saja untuk Kak Daffa kembali ke rumah karena ia tahu seluk beluk kota ini. Sedangkan aku? Alamat rumah Kak Daffa saja aku tak hafal. Oh God!! Yang terpikir saat ini hanyalah menghubungi ponsel Kak Daffa. Tanpa pikir panjang aku segera meraba kantong sakuku untuk mengambil ponselku. Err, tunggu sebentar disana! Kacau, aku meninggalkan ponselku di apartement pagi tadi. Rasanya baru tadi aku bahagia, kini sekejap mata langsung habis tak tersisa. Lebih parahnya, aku sama sekali tak mengantongi uang sepeserpun. Bagaimana aku kembali? God, aku tak ingin menjadi gelandangan yang terlantar di negeri Elizabeth ini. Aku ingin ke telepon umum, tapi jika 1 sen saja aku tak mengantongi, bagaimana nantinya?
Oh God,
Kak Daffa, please! Find me here! I’m afraid…..
TO BE CONTINUED

Hi!

 hai!  Lama sekali aku tak mengunjungi blog milikku sendiri. Aku hampir lupa kalau aku punya akun ini. Waktu sudah lama berlalu, aku sekaran...